PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 44 TAHUN 2008
NOMOR 44 TAHUN 2008
TENTANG
PORNOGRAFI
PORNOGRAFI
I. UMUM
Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dengan menjunjung tinggi nilai-nilai moral, etika, akhlak mulia, dan
kepribadian luhur bangsa, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
menghormati kebinekaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara,
serta melindungi harkat dan martabat setiap warga negara.
Globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, khususnya teknologi informasi dan komunikasi, telah memberikan andil
terhadap meningkatnya pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang
memberikan pengaruh buruk terhadap moral dan kepribadian luhur bangsa Indonesia
sehingga mengancam kehidupan dan tatanan sosial masyarakat Indonesia.
Berkembangluasnya pornografi di tengah masyarakat juga mengakibatkan
meningkatnya tindak asusila dan pencabulan.
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
telah mengisyaratkan melalui Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika
Kehidupan Berbangsa mengenai ancaman yang serius terhadap persatuan dan
kesatuan bangsa dan terjadinya kemunduran dalam pelaksanaan etika kehidupan
berbangsa, yang salah satunya disebabkan oleh meningkatnya tindakan asusila,
pencabulan, prostitusi, dan media pornografi, sehingga diperlukan upaya yang
sungguh-sungguh untuk mendorong penguatan kembali etika dan moral masyarakat
Indonesia.
Pengaturan pornografi yang terdapat dalam peraturan
perundang-undangan yang ada, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pers, Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2002 tentang Penyiaran, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak kurang memadai dan belum memenuhi kebutuhan hukum serta perkembangan
masyarakat sehingga perlu dibuat undang-undang baru yang secara khusus mengatur
pornografi.
Pengaturan pornografi berasaskan Ketuhanan Yang
Maha Esa, penghormatan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan, kebinekaan,
kepastian hukum, nondiskriminasi, dan perlindungan terhadap warga negara. Hal
tersebut berarti bahwa ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini adalah:
1. menjunjung tinggi nilai-nilai moral yang
bersumber pada ajaran agama;
2. memberikan ketentuan yang sejelas-jelasnya
tentang batasan dan larangan yang harus dipatuhi oleh setiap warga negara serta
menentukan jenis sanksi bagi yang melanggarnya; dan
3. melindungi setiap warga negara, khususnya
perempuan, anak, dan generasi muda dari pengaruh buruk dan korban pornografi.
Pengaturan pornografi dalam Undang-Undang ini
meliputi (1) pelarangan dan pembatasan pembuatan, penyebarluasan, dan
penggunaan pornografi; (2) perlindungan anak dari pengaruh pornografi; dan (3) pencegahan
pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi, termasuk peran serta
masyarakat dalam pencegahan.
Undang-Undang ini menetapkan secara tegas tentang
bentuk hukuman dari pelanggaran pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan
pornografi yang disesuaikan dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan, yakni
berat, sedang, dan ringan, serta memberikan pemberatan terhadap perbuatan
pidana yang melibatkan anak. Di samping itu, pemberatan juga diberikan terhadap
pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi dengan melipatgandakan
sanksi pokok serta pemberian hukuman tambahan.
Untuk memberikan perlindungan terhadap korban
pornografi, Undang-Undang ini mewajibkan kepada semua pihak, dalam hal ini
negara, lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga,
dan/atau masyarakat untuk memberikan pembinaan, pendampingan, pemulihan sosial,
kesehatan fisik dan mental bagi setiap anak yang menjadi korban atau pelaku
pornografi.
Berdasarkan pemikiran tersebut, Undang-Undang
tentang Pornografi diatur secara komprehensif dalam rangka mewujudkan dan
memelihara tatanan kehidupan masyarakat Indonesia yang beretika, berkepribadian
luhur, dan menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, serta
menghormati harkat dan martabat setiap warga negara.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Perlindungan terhadap
seni dan budaya yang termasuk cagar budaya diatur berdasarkan undang-undang
yang berlaku.
Pasal 4
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan
"membuat" adalah tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan
sendiri.
Huruf a
Yang dimaksud dengan
"persenggamaan yang menyimpang" antara lain persenggamaan atau
aktivitas seksual lainnya dengan mayat, binatang, oral seks, anal seks,
lesbian, dan homoseksual.
Huruf b
Yang dimaksud dengan
"kekerasan seksual" antara lain persenggamaan yang didahului dengan
tindakan kekerasan (penganiayaan) atau mencabuli dengan paksaan atau
pemerkosaan.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan
"mengesankan ketelanjangan" adalah suatu kondisi seseorang yang
menggunakan penutup tubuh, tetapi masih menampakkan alat kelamin secara
eksplisit.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Pornografi anak adalah
segala bentuk pornografi yang melibatkan anak atau yang melibatkan orang dewasa
yang berperan atau bersikap seperti anak.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 5
Yang dimaksud dengan
"mengunduh" (download) adalah mengambil fail dari jaringan internet
atau jaringan komunikasi lainnya.
Pasal 6
Larangan "memiliki
atau menyimpan" tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan
sendiri.
Yang dimaksud dengan
"yang diberi kewenangan oleh perundang-undangan" misalnya lembaga
yang diberi kewenangan menyensor film, lembaga yang mengawasi penyiaran,
lembaga penegak hukum, lembaga pelayanan kesehatan atau terapi kesehatan
seksual, dan lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan tersebut termasuk pula
perpustakaan, laboratorium, dan sarana pendidikan lainnya.
Kegiatan memperdengarkan,
mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan barang pornografi dalam
ketentuan ini hanya dapat digunakan di tempat atau di lokasi yang disediakan
untuk tujuan lembaga yang dimaksud.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Ketentuan ini dimaksudkan
bahwa jika pelaku dipaksa dengan ancaman atau diancam atau di bawah kekuasaan
atau tekanan orang lain, dibujuk atau ditipu daya, atau dibohongi oleh orang
lain, pelaku tidak dipidana.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Yang dimaksud dengan
"pornografi lainnya" antara lain kekerasan seksual, masturbasi, atau
onani.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan
"pembuatan" termasuk memproduksi, membuat, memperbanyak, atau
menggandakan.
Yang dimaksud dengan
"penyebarluasan" termasuk menyebarluaskan, menyiarkan, mengunduh,
mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, meminjamkan,
atau menyediakan.
Yang dimaksud dengan
"penggunaan" termasuk memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan,
memiliki, atau menyimpan.
Frasa "selain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)" dalam ketentuan ini misalnya
majalah yang memuat model berpakaian bikini, baju renang, dan pakaian olahraga
pantai, yang digunakan sesuai dengan konteksnya.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan
"di tempat dan dengan cara khusus" misalnya penempatan yang tidak
dapat dijangkau oleh anak-anak atau pengemasan yang tidak menampilkan atau
menggambarkan pornografi.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Ketentuan ini dimaksudkan
untuk mencegah sedini mungkin pengaruh pornografi terhadap anak dan ketentuan
ini menegaskan kembali terkait dengan perlindungan terhadap anak yang
ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Huruf a
Yang dimaksud dengan
"pemblokiran pornografi melalui internet" adalah pemblokiran barang
pornografi atau penyediaan jasa pornografi.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 19
Huruf a
Yang dimaksud dengan
"pemblokiran pornografi melalui internet" adalah pemblokiran barang
pornografi atau penyediaan jasa pornografi.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan
"peran serta masyarakat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan" adalah agar masyarakat tidak melakukan tindakan main
hakim sendiri, tindakan kekerasan, razia (sweeping), atau tindakan melawan
hukum lainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Yang dimaksud dengan
"penyidik" adalah penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia
sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIANOMOR 4928
(sumber: dari web resmi YLBH APIK Jakarta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar