UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 44 TAHUN 2008
TENTANG
PORNOGRAFI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
NOMOR 44 TAHUN 2008
TENTANG
PORNOGRAFI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa negara Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi nilai-nilai moral, etika, akhlak mulia, dan kepribadian luhur bangsa, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, menghormati kebinekaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta melindungi harkat dan martabat setiap warga negara;
a. bahwa negara Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi nilai-nilai moral, etika, akhlak mulia, dan kepribadian luhur bangsa, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, menghormati kebinekaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta melindungi harkat dan martabat setiap warga negara;
b. bahwa pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi semakin
berkembang luas di tengah masyarakat yang mengancam kehidupan dan tatanan
sosial masyarakat Indonesia;
c. bahwa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
pornografi yang ada saat ini belum dapat memenuhi kebutuhan hukum serta
perkembangan masyarakat;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf
a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Pornografi;
Mengingat :
Pasal 20 Pasal 21, Pasal 28B ayat (2), Pasal 28J ayat (2), dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Pasal 20 Pasal 21, Pasal 28B ayat (2), Pasal 28J ayat (2), dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PORNOGRAFI.
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PORNOGRAFI.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara,
bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk
pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di
muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma
kesusilaan dalam masyarakat.
2. Jasa pornografi adalah segala jenis layanan pornografi yang disediakan
oleh orang perseorangan atau korporasi melalui pertunjukan langsung, televisi
kabel, televisi teresterial, radio, telepon, internet, dan komunikasi
elektronik lainnya serta surat kabar, majalah, dan barang cetakan lainnya.
3. Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang
berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.
4. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun.
5. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat yang dipimpin oleh Presiden
Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
6. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan
perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
Pasal 2
Pengaturan pornografi berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, penghormatan
terhadap harkat dan martabat kemanusiaan, kebinekaan, kepastian hukum,
nondiskriminasi, dan perlindungan terhadap warga negara.
Pasal 3
Undang-Undang ini bertujuan:
a. mewujudkan dan memelihara tatanan kehidupan masyarakat yang beretika,
berkepribadian luhur, menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa,
serta menghormati harkat dan martabat kemanusiaan;
b. menghormati, melindungi, dan melestarikan nilai seni dan budaya, adat istiadat,
dan ritual keagamaan masyarakat Indonesia yang majemuk;
c. memberikan pembinaan dan pendidikan terhadap moral dan akhlak
masyarakat;
d. memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi warga negara dari
pornografi, terutama bagi anak dan perempuan; dan
e. mencegah berkembangnya pornografi dan komersialisasi seks di
masyarakat.
BAB II
LARANGAN DAN PEMBATASAN
Pasal 4
(1). Setiap orang dilarang
memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan,
mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau
menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat:
a. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;
b. kekerasan seksual;
c. masturbasi atau onani;
d. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
e. alat kelamin; atau
f. pornografi anak.
(2). Setiap orang
dilarang menyediakan jasa pornografi yang:
a. menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang
mengesankan ketelanjangan;
b. menyajikan secara eksplisit alat kelamin;
c. mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual; atau
d. menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung
layanan seksual.
Pasal 5
Setiap orang dilarang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1).
Pasal 6
Setiap orang dilarang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan,
memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (1), kecuali yang diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan.
Pasal 7
Setiap orang dilarang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4.
Pasal 8
Setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya
menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi.
Pasal 9
Setiap orang dilarang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang
mengandung muatan pornografi.
Pasal 10
Setiap orang dilarang mempertontonkan diri atau orang lain dalam
pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual,
persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya.
Pasal 11
Setiap orang dilarang melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai
objek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9,
atau Pasal 10.
Pasal 12
Setiap orang dilarang mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan,
menyalahgunakan kekuasaan atau memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa
pornografi.
Pasal 13
(1). Pembuatan,
penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang memuat selain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) wajib mendasarkan pada peraturan
perundang-undangan.
(2). Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan di tempat dan dengan cara khusus.
Pasal 14
Ketentuan mengenai syarat dan tata cara perizinan pembuatan,
penyebarluasan, dan penggunaan produk pornografi untuk tujuan dan kepentingan
pendidikan dan pelayanan kesehatan dan pelaksanaan ketentuan Pasal 13 diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
BAB III
PERLINDUNGAN ANAK
Pasal 15
Setiap orang berkewajiban melindungi anak dari pengaruh pornografi dan
mencegah akses anak terhadap informasi pornografi.
Pasal 16
(1). Pemerintah, lembaga
sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga, dan/atau masyarakat
berkewajiban memberikan pembinaan, pendampingan, serta pemulihan sosial,
kesehatan fisik dan mental bagi setiap anak yang menjadi korban atau pelaku
pornografi.
(2). Ketentuan lebih
lanjut mengenai pembinaan, pendampingan, serta pemulihan sosial, kesehatan
fisik dan mental sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
BAB IV
PENCEGAHAN
Bagian Kesatu
Peran Pemerintah
Pasal 17
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan pencegahan pembuatan,
penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.
Pasal 18
Untuk melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17,
Pemerintah berwenang:
a. melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk
pornografi atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran pornografi melalui
internet;
b. melakukan pengawasan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan
penggunaan pornografi; dan
c. melakukan kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak, baik dari
dalam maupun dari luar negeri, dalam pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan
penggunaan pornografi.
Pasal 19
Untuk melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17,
Pemerintah Daerah berwenang:
a. melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk
pornografi atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran pornografi melalui
internet di wilayahnya;
b. melakukan pengawasan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan
penggunaan pornografi di wilayahnya;
c. melakukan kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak dalam
pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi di wilayahnya;
dan
d. mengembangkan sistem komunikasi, informasi, dan edukasi dalam rangka
pencegahan pornografi di wilayahnya.
Bagian Kedua
Peran Serta Masyarakat
Pasal 20
Masyarakat dapat berperan serta dalam melakukan pencegahan terhadap
pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.
Pasal 21
(1). Peran serta masyarakat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dapat dilakukan dengan cara:
a. melaporkan pelanggaran Undang-Undang ini;
b. melakukan gugatan perwakilan ke pengadilan;
c. melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan yang mengatur
pornografi; dan
d. melakukan pembinaan kepada masyarakat terhadap bahaya dan dampak
pornografi.
(2). Ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 22
Masyarakat yang melaporkan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal
21 ayat (1) huruf a berhak mendapat perlindungan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
BAB V
PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN
DI SIDANG PENGADILAN
Pasal 23
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap
pelanggaran pornografi dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang tentang Hukum
Acara Pidana, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
Pasal 24
Di samping alat bukti sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang
Hukum Acara Pidana, termasuk juga alat bukti dalam perkara tindak pidana
meliputi tetapi tidak terbatas pada:
a. barang yang memuat tulisan atau gambar dalam bentuk cetakan atau bukan
cetakan, baik elektronik, optik, maupun bentuk penyimpanan data lainnya; dan
b. data yang tersimpan dalam jaringan internet dan saluran komunikasi
lainnya.
Pasal 25
(1). Untuk kepentingan
penyidikan, penyidik berwenang membuka akses, memeriksa, dan membuat salinan
data elektronik yang tersimpan dalam fail komputer, jaringan internet, media
optik, serta bentuk penyimpanan data elektronik lainnya.
(2). Untuk kepentingan
penyidikan, pemilik data, penyimpan data, atau penyedia jasa layanan elektronik
berkewajiban menyerahkan dan/atau membuka data elektronik yang diminta
penyidik.
(3). Pemilik data,
penyimpan data, atau penyedia jasa layanan elektronik setelah menyerahkan
dan/atau membuka data elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berhak
menerima tanda terima penyerahan atau berita acara pembukaan data elektronik
dari penyidik.
Pasal 26
Penyidik membuat berita acara tentang tindakan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 25 dan mengirim turunan berita acara tersebut kepada pemilik data,
penyimpan data, atau penyedia jasa layanan komunikasi di tempat data tersebut
didapatkan.
Pasal 27
(1). Data elektronik
yang ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa dilampirkan dalam
berkas perkara.
(2). Data elektronik yang ada
hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa dapat dimusnahkan atau
dihapus.
(3). Penyidik, penuntut
umum, dan para pejabat pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan
wajib merahasiakan dengan sungguh-sungguh atas kekuatan sumpah jabatan, baik
isi maupun informasi data elektronik yang dimusnahkan atau dihapus.
BAB VI
PEMUSNAHAN
Pasal 28
(1). Pemusnahan dilakukan
terhadap produk pornografi hasil perampasan.
(2). Pemusnahan produk
pornografi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh penuntut umum
dengan membuat berita acara yang sekurang-kurangnya memuat:
a. nama media cetak dan/atau media elektronik yang menyebarluaskan
pornografi;
b. nama, jenis, dan jumlah barang yang dimusnahkan;
c. hari, tanggal, bulan, dan tahun pemusnahan; dan
d. keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai barang yang
dimusnahkan.
BAB VII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 29
Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan,
menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan,
memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam)
bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit
Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
Pasal 30
Setiap orang yang menyediakan jasa pornografi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan
dan paling lama 6 (enam) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit
Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 31
Setiap orang yang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat)
tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar
rupiah).
Pasal 32
Setiap orang yang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan,
memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana
denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Pasal 33
Setiap orang yang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua)
tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau pidana denda paling
sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak
Rp7.500.000.000,00 (tujuh miliar lima ratus juta rupiah).
Pasal 34
Setiap orang yang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi
objek atau model yang mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau
pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 35
Setiap orang yang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang
mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 12 (dua belas)
tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
Pasal 36
Setiap orang yang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan
atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual,
persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 37
Setiap orang yang melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai objek
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dipidana dengan pidana yang sama dengan
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal
34, Pasal 35, dan Pasal 36, ditambah 1/3 (sepertiga) dari maksimum ancaman
pidananya.
Pasal 38
Setiap orang yang mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan,
menyalahgunakan kekuasaan, atau memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa
pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan/atau pidana
denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 39
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31,
Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, dan Pasal 38 adalah
kejahatan.
Pasal 40
(1). Dalam hal tindak
pidana pornografi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, tuntutan dan
penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.
(2). Tindak pidana
pornografi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan
oleh orang-orang, baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan
lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut, baik sendiri maupun
bersama-sama.
(3). Dalam hal tuntutan
pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, korporasi tersebut diwakili oleh
pengurus.
(4). Pengurus yang
mewakili korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diwakili oleh orang
lain.
(5). Hakim dapat
memerintahkan pengurus korporasi supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di
pengadilan dan dapat pula memerintahkan pengurus korporasi supaya pengurus
tersebut dibawa ke sidang pengadilan.
(6). Dalam hal tuntutan
pidana dilakukan terhadap korporasi, panggilan untuk menghadap dan penyerahan
surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus
atau di tempat pengurus berkantor.
(7). Dalam hal tindak
pidana pornografi yang dilakukan korporasi, selain pidana penjara dan denda
terhadap pengurusnya, dijatuhkan pula pidana denda terhadap korporasi dengan
ketentuan maksimum pidana dikalikan 3 (tiga) dari pidana denda yang ditentukan
dalam setiap pasal dalam Bab ini.
Pasal 41
Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (7),
korporasi dapat dikenai pidana tambahan berupa:
a. pembekuan izin usaha;
b. pencabutan izin usaha;
c. perampasan kekayaan hasil tindak pidana; dan
d. pencabutan status badan hukum.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 42
Untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan Undang-Undang ini, dibentuk
gugus tugas antardepartemen, kementerian, dan lembaga terkait yang ketentuannya
diatur dengan Peraturan Presiden.
Pasal 43
Pada saat Undang-Undang ini berlaku, dalam waktu paling lama 1 (satu)
bulan setiap orang yang memiliki atau menyimpan produk pornografi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) harus memusnahkan sendiri atau menyerahkan
kepada pihak yang berwajib untuk dimusnahkan.
Pasal 44
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan
perundang-undangan yang mengatur atau berkaitan dengan tindak pidana pornografi
dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.
Pasal 45
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 26 November 2008
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 26 November 2008
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 181
Tidak ada komentar:
Posting Komentar