Sabtu, 16 November 2013

NEGARA LINDUNGI SAKSI, PELAPOR, JAKSA & HAKIM KASUS PIDANA NARKOTIKA ...........



Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, untuk terciptanya efisiensi dan menciptakan peraturan perundang-undangan yang memberikan kemudahan bagi aparat penegak hukum, dan masyarakat. 

Pemerintah menerbitkan aturan tentang Transito Narkotika; Pembinaan dan Pengawasan; Syarat dan Tata Cara Pengambilan dan Pengujian Sampel di Laboratorium; Tata Cara Perlindungan Negara terhadap Saksi Pelapor, Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim yang memeriksa Perkara Tindak Pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan Tata Cara Penggunaan Harta Kekayaan atau Aset yang Diperoleh dari Hasil Tindak Pidana Narkotika dan Prekusor Narkotika.

Aturan itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2013 yang telah ditandatangani oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono pada 23 Mei 2013 lalu, dan diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsudin pada tanggal yang sama.

Peraturan Pemerintah ini, memberikan payung hukum bagi pelaksanaan Transit Narkotika dari satu negara lain di wilayah pelabuhan-pelabuhan di tanah air. Syaratnya, dalam waktu 1X24 jam  setelah narkotika tiba di bandar udara, pelabuhan atau perbatasan negara. Penanggung jawab wajib, melaporkan narkotika yang ada  dalam penguasaannya kepada Kantor Bea dan Cukai setempat. Laporan dimaksud harus dilengkapi dengan dokumen, atau SPE yang sah dari negara pengekspor dan dokumen, atau SPI yang dari negara pengimpor.
“Kepala Kantor Bea dan Cukai wajib memberikan informasi adanya Transito Narkotika kepada Menteri Kesehatan. Selanjutnya Menteri Kesehatan, meneruskan informasi itu kepada negara pengekspor narkotika, negara pengimpor narkotika, dan Badan Narkotika Internasional,” demikian bunyi Pasal 3 Ayat (4) dalam Peraturan Pemerintah tersebut.
Disebutkan dalam Peraturan Pemerintah ini, penanggung jawab pengangkut narkotika yang melakukan transito dilarang mengubah negara tujuan, kecuali ada perubahan SPE dari negara pengekspor, dan SPI dari negara pengimpor.
Adapun pengemasan kembali terhadap kemasan asli narkotika yang mengalami kerusakan hanya dapat dilakukan setelah adanya pemeriksaan dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) atas permintaan Kepala Bea dan Cukai, yang hasilnya harus dilaporkan kembali kepada Menteri Kesehatan untuk diteruskan kepada Pemerintah negara pengimpor, negara pengekspor, dan Badan Narkotika Internasional.
PENYITAAN




Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2013 ini menegaskan, kegiatan penyitaan oleh Penyidik Badan Narkotika Nasional (BNN), Penyidik Polri, atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dilakukan berdasarkan surat perintah penyitaan, dan penyegelan, yang ditembuskan kepada Kepala Kejaksaan Negeri setempat, Ketua Pengadilan Negeri setempat, Menteri Kesehatan, dan Kepala BPOM.

“Barang sitaan, disisihkan sebagian kecil untuk dijadikan sampel guna pengujian di Laboratorium tertentu yang terakreditasi,” perintah bunyi Pasal 15 Ayat (1) dalam Peraturan Pemerintah tersebut. Adapun dalam hal terdapat sisa hasil Pengujian Sampel di Laboratorium. Petugas Laboratorium wajib melakukan pembungkusan, pelabelan, untuk selanjutnya diserahkan kembali kepada Penyidik BNN, atau Penyidik Polri.
Menurut Peraturan Pemerintah ini dalam waktu 3X24 jam, Penyidik BNN atau Penyidik Polri wajib memberitahukan dan meminta penetapan status barang sitaan kepada Kepala Kejaksaan Negeri setempat. Selanjutnya, Kepala Kejaksaan Negeri wajib menetapkan status barang sitaan untuk kepentingan yang meliputi:
a. Pembuktian Perkara;
b. Kepentingan Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi; 
c. Kepentingan Pendidikan dan Pelatihan; dan 
d. Dimusnahkan.
Ditegaskan dalam Peraturan Pemerintah ini, pemusnahan barang sitaan dilakukan oleh Penyidik BNN dan Penyidik Polri berdasarkan Penetapan Kepala Kejaksaan Negeri setempat; dan Jaksa berdasarkan Putusan Pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap.
“Penyidik BNN dan Penyidik Polri dapat melakukan pemusnahan barang sitaan berupa tanaman narkotika tanpa melalui penetapan Kepala Kejaksaan Negeri setempat, termasuk (yang ditegaskan di dalam Pasal 26 Ayat (2) dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2013 ini), yaitu
a. Sisa hasil pengujian sampel laboratorium atau; 
b. Setelah digunakan untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan tidak digunakan lagi karena rusakm atau tidak memenuhi persyaratan. 
PERLINDUNGAN NEGARA




Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2013 ini, juga menegaskan, negara wajib memberikan perlindungan kepada Saksi, Pelapor, Penyidik BNN, Penyidik Polri, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) tertentu, Penuntut Umum dan Hakim yang memeriksa Perkara Tindak Pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika beserta keluarganya dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, baik sebelum, selama, maupun sesudah proses pemeriksaan perkara.
“Perlindungan juga berlaku bagi saksi ahli dan petugas laboratorium beserta keluarganya,” tegas dibunyikan di dalam Pasal 35 Ayat (2) dalam Peraturan Pemerintah ini.
Perlindungan ini, selain menyangkut pengamanan terhadap diri pribadi, keluarga, dan harta, juga menyangkut kerahasiaan identitas saksi dan pelapor; dan/atau pemberian keterangan saksi/pelapor dalam proses pemeriksaan perkara tanpa bertatap muka dengan tersangka atau terdakwa.
“Perlindungan dilakukan oleh pejabat Polri yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal/tempat kerja Saksi, Pelapor, Penyidik BNN, Penyidik Polri, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) tertentu, Penuntut Umum dan Hakim yang memeriksa Perkara Tindak Pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika, Ahli dan Petugas Laboratorium beserta keluarganya,” demikian bunyi Pasal 38 Ayat (1) dalam Peraturan Pemerintah ini.
Disebutkan dalam Peraturan Pemerintah ini, segala biaya berkaitan dengan perlindungan terhadap Saksi, Pelapor, Penyidik BNN, Penyidik Polri, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) tertentu, Penuntut Umum dan Hakim, Ahli dan Petugas Laboratorium beserta keluarganya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Oleh : DESK INFORMASI SETKAB

Jumat, 15 November 2013

TOLAK PORNOGRAFI, SELAMATKAN INDONESIA.....!!!



PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 44 TAHUN 2008
TENTANG
PORNOGRAFI



I. UMUM
Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan menjunjung tinggi nilai-nilai moral, etika, akhlak mulia, dan kepribadian luhur bangsa, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, menghormati kebinekaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta melindungi harkat dan martabat setiap warga negara.
Globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi informasi dan komunikasi, telah memberikan andil terhadap meningkatnya pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang memberikan pengaruh buruk terhadap moral dan kepribadian luhur bangsa Indonesia sehingga mengancam kehidupan dan tatanan sosial masyarakat Indonesia. Berkembangluasnya pornografi di tengah masyarakat juga mengakibatkan meningkatnya tindak asusila dan pencabulan.
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia telah mengisyaratkan melalui Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa mengenai ancaman yang serius terhadap persatuan dan kesatuan bangsa dan terjadinya kemunduran dalam pelaksanaan etika kehidupan berbangsa, yang salah satunya disebabkan oleh meningkatnya tindakan asusila, pencabulan, prostitusi, dan media pornografi, sehingga diperlukan upaya yang sungguh-sungguh untuk mendorong penguatan kembali etika dan moral masyarakat Indonesia.
Pengaturan pornografi yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang ada, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pers, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak kurang memadai dan belum memenuhi kebutuhan hukum serta perkembangan masyarakat sehingga perlu dibuat undang-undang baru yang secara khusus mengatur pornografi.
Pengaturan pornografi berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, penghormatan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan, kebinekaan, kepastian hukum, nondiskriminasi, dan perlindungan terhadap warga negara. Hal tersebut berarti bahwa ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini adalah:
1. menjunjung tinggi nilai-nilai moral yang bersumber pada ajaran agama;
2. memberikan ketentuan yang sejelas-jelasnya tentang batasan dan larangan yang harus dipatuhi oleh setiap warga negara serta menentukan jenis sanksi bagi yang melanggarnya; dan
3. melindungi setiap warga negara, khususnya perempuan, anak, dan generasi muda dari pengaruh buruk dan korban pornografi.
Pengaturan pornografi dalam Undang-Undang ini meliputi (1) pelarangan dan pembatasan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi; (2) perlindungan anak dari pengaruh pornografi; dan (3) pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi, termasuk peran serta masyarakat dalam pencegahan.
Undang-Undang ini menetapkan secara tegas tentang bentuk hukuman dari pelanggaran pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang disesuaikan dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan, yakni berat, sedang, dan ringan, serta memberikan pemberatan terhadap perbuatan pidana yang melibatkan anak. Di samping itu, pemberatan juga diberikan terhadap pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi dengan melipatgandakan sanksi pokok serta pemberian hukuman tambahan.
Untuk memberikan perlindungan terhadap korban pornografi, Undang-Undang ini mewajibkan kepada semua pihak, dalam hal ini negara, lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga, dan/atau masyarakat untuk memberikan pembinaan, pendampingan, pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental bagi setiap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi.
Berdasarkan pemikiran tersebut, Undang-Undang tentang Pornografi diatur secara komprehensif dalam rangka mewujudkan dan memelihara tatanan kehidupan masyarakat Indonesia yang beretika, berkepribadian luhur, dan menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, serta menghormati harkat dan martabat setiap warga negara.



II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas.

Pasal 2
Cukup jelas.

Pasal 3
Perlindungan terhadap seni dan budaya yang termasuk cagar budaya diatur berdasarkan undang-undang yang berlaku.

Pasal 4
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "membuat" adalah tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri.

Huruf a
Yang dimaksud dengan "persenggamaan yang menyimpang" antara lain persenggamaan atau aktivitas seksual lainnya dengan mayat, binatang, oral seks, anal seks, lesbian, dan homoseksual.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "kekerasan seksual" antara lain persenggamaan yang didahului dengan tindakan kekerasan (penganiayaan) atau mencabuli dengan paksaan atau pemerkosaan.
 Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "mengesankan ketelanjangan" adalah suatu kondisi seseorang yang menggunakan penutup tubuh, tetapi masih menampakkan alat kelamin secara eksplisit.
 Huruf e
Cukup jelas.
 Huruf f
Pornografi anak adalah segala bentuk pornografi yang melibatkan anak atau yang melibatkan orang dewasa yang berperan atau bersikap seperti anak.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 5
Yang dimaksud dengan "mengunduh" (download) adalah mengambil fail dari jaringan internet atau jaringan komunikasi lainnya.

Pasal 6
Larangan "memiliki atau menyimpan" tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri.
Yang dimaksud dengan "yang diberi kewenangan oleh perundang-undangan" misalnya lembaga yang diberi kewenangan menyensor film, lembaga yang mengawasi penyiaran, lembaga penegak hukum, lembaga pelayanan kesehatan atau terapi kesehatan seksual, dan lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan tersebut termasuk pula perpustakaan, laboratorium, dan sarana pendidikan lainnya.
Kegiatan memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan barang pornografi dalam ketentuan ini hanya dapat digunakan di tempat atau di lokasi yang disediakan untuk tujuan lembaga yang dimaksud.

Pasal 7
Cukup jelas.

Pasal 8
Ketentuan ini dimaksudkan bahwa jika pelaku dipaksa dengan ancaman atau diancam atau di bawah kekuasaan atau tekanan orang lain, dibujuk atau ditipu daya, atau dibohongi oleh orang lain, pelaku tidak dipidana.

Pasal 9
Cukup jelas.

Pasal 10
Yang dimaksud dengan "pornografi lainnya" antara lain kekerasan seksual, masturbasi, atau onani.

Pasal 11
Cukup jelas.

Pasal 12
Cukup jelas.

Pasal 13
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "pembuatan" termasuk memproduksi, membuat, memperbanyak, atau menggandakan.
Yang dimaksud dengan "penyebarluasan" termasuk menyebarluaskan, menyiarkan, mengunduh, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, meminjamkan, atau menyediakan.
Yang dimaksud dengan "penggunaan" termasuk memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan.
Frasa "selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)" dalam ketentuan ini misalnya majalah yang memuat model berpakaian bikini, baju renang, dan pakaian olahraga pantai, yang digunakan sesuai dengan konteksnya.

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "di tempat dan dengan cara khusus" misalnya penempatan yang tidak dapat dijangkau oleh anak-anak atau pengemasan yang tidak menampilkan atau menggambarkan pornografi.

Pasal 14
Cukup jelas.


Pasal 15
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah sedini mungkin pengaruh pornografi terhadap anak dan ketentuan ini menegaskan kembali terkait dengan perlindungan terhadap anak yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak.

Pasal 16
Cukup jelas.

Pasal 17
Cukup jelas.

Pasal 18
Huruf a
Yang dimaksud dengan "pemblokiran pornografi melalui internet" adalah pemblokiran barang pornografi atau penyediaan jasa pornografi.
Huruf b
Cukup jelas.

Huruf c
Cukup jelas.

Pasal 19
Huruf a
Yang dimaksud dengan "pemblokiran pornografi melalui internet" adalah pemblokiran barang pornografi atau penyediaan jasa pornografi.
Huruf b
Cukup jelas.

Huruf c
Cukup jelas.

Huruf d
Cukup jelas.

Pasal 20
Cukup jelas.

 Pasal 21
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "peran serta masyarakat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan" adalah agar masyarakat tidak melakukan tindakan main hakim sendiri, tindakan kekerasan, razia (sweeping), atau tindakan melawan hukum lainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 22
Cukup jelas.

Pasal 23
Cukup jelas.

Pasal 24
Cukup jelas.

Pasal 25
Yang dimaksud dengan "penyidik" adalah penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pasal 26
Cukup jelas.

Pasal 27
Cukup jelas.

Pasal 28
Cukup jelas.

Pasal 29
Cukup jelas.

Pasal 30
Cukup jelas.

Pasal 31
Cukup jelas.

Pasal 32
Cukup jelas.

Pasal 33
Cukup jelas.

Pasal 34
Cukup jelas.

Pasal 35
Cukup jelas.

Pasal 36
Cukup jelas.

Pasal 37
Cukup jelas

Pasal 38
Cukup jelas.

Pasal 39
Cukup jelas.

Pasal 40
Cukup jelas.

Pasal 41
Cukup jelas.

Pasal 42
Cukup jelas.

Pasal 43
Cukup jelas.

Pasal 44
Cukup jelas.

Pasal 45
Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIANOMOR 4928
(sumber: dari web resmi YLBH APIK Jakarta)