Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, untuk terciptanya efisiensi dan menciptakan peraturan perundang-undangan yang memberikan kemudahan bagi aparat penegak hukum, dan masyarakat.
Pemerintah menerbitkan aturan tentang Transito Narkotika;
Pembinaan dan Pengawasan; Syarat dan Tata Cara Pengambilan dan
Pengujian Sampel di Laboratorium; Tata Cara Perlindungan Negara terhadap Saksi
Pelapor, Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim yang memeriksa Perkara Tindak Pidana
Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan Tata Cara Penggunaan Harta Kekayaan atau
Aset yang Diperoleh dari Hasil Tindak Pidana Narkotika dan Prekusor Narkotika.
Aturan itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2013 yang telah ditandatangani oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono pada
23 Mei 2013 lalu, dan diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsudin
pada tanggal yang sama.
Peraturan Pemerintah ini, memberikan payung hukum bagi pelaksanaan Transit Narkotika dari satu
negara lain di wilayah pelabuhan-pelabuhan di tanah air. Syaratnya, dalam waktu
1X24 jam setelah narkotika tiba di bandar udara, pelabuhan atau
perbatasan negara. Penanggung jawab wajib, melaporkan narkotika yang ada
dalam penguasaannya kepada Kantor Bea dan Cukai setempat. Laporan dimaksud
harus dilengkapi dengan dokumen, atau SPE yang sah dari negara pengekspor dan
dokumen, atau SPI yang dari negara pengimpor.
“Kepala Kantor Bea dan Cukai wajib memberikan informasi adanya Transito
Narkotika kepada Menteri Kesehatan. Selanjutnya Menteri Kesehatan, meneruskan
informasi itu kepada negara pengekspor narkotika, negara pengimpor narkotika,
dan Badan Narkotika Internasional,” demikian bunyi Pasal 3 Ayat (4) dalam Peraturan Pemerintah tersebut.
Disebutkan dalam Peraturan Pemerintah ini, penanggung jawab pengangkut narkotika yang melakukan
transito dilarang mengubah negara tujuan, kecuali ada perubahan SPE dari negara
pengekspor, dan SPI dari negara pengimpor.
Adapun pengemasan kembali terhadap kemasan asli narkotika yang mengalami
kerusakan hanya dapat dilakukan setelah adanya pemeriksaan dari Badan
Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) atas permintaan Kepala Bea dan Cukai, yang
hasilnya harus dilaporkan kembali kepada Menteri Kesehatan untuk diteruskan
kepada Pemerintah negara pengimpor, negara pengekspor, dan Badan Narkotika
Internasional.
Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2013 ini menegaskan, kegiatan penyitaan oleh Penyidik Badan Narkotika
Nasional (BNN), Penyidik Polri, atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)
dilakukan berdasarkan surat perintah penyitaan, dan penyegelan, yang ditembuskan
kepada Kepala Kejaksaan Negeri setempat, Ketua Pengadilan Negeri setempat,
Menteri Kesehatan, dan Kepala BPOM.
“Barang sitaan, disisihkan sebagian kecil untuk dijadikan sampel guna
pengujian di Laboratorium tertentu yang terakreditasi,” perintah bunyi Pasal 15 Ayat (1) dalam Peraturan Pemerintah tersebut. Adapun dalam hal terdapat sisa hasil Pengujian Sampel di
Laboratorium. Petugas Laboratorium wajib melakukan pembungkusan, pelabelan,
untuk selanjutnya diserahkan kembali kepada Penyidik BNN, atau Penyidik Polri.
Menurut Peraturan Pemerintah ini dalam waktu 3X24 jam, Penyidik BNN atau Penyidik Polri
wajib memberitahukan dan meminta penetapan status barang sitaan kepada Kepala
Kejaksaan Negeri setempat. Selanjutnya, Kepala Kejaksaan Negeri wajib
menetapkan status barang sitaan untuk kepentingan yang meliputi:
a. Pembuktian
Perkara;
b. Kepentingan Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi;
c.
Kepentingan Pendidikan dan Pelatihan; dan
d. Dimusnahkan.
Ditegaskan dalam Peraturan Pemerintah ini, pemusnahan barang sitaan dilakukan oleh Penyidik
BNN dan Penyidik Polri berdasarkan Penetapan Kepala Kejaksaan Negeri setempat;
dan Jaksa berdasarkan Putusan Pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap.
“Penyidik BNN dan Penyidik Polri dapat melakukan pemusnahan barang sitaan
berupa tanaman narkotika tanpa melalui penetapan Kepala Kejaksaan Negeri
setempat, termasuk (yang ditegaskan di dalam Pasal 26 Ayat (2) dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2013 ini), yaitu:
a. Sisa hasil pengujian sampel laboratorium atau;
b.
Setelah digunakan untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan tidak
digunakan lagi karena rusakm atau tidak memenuhi persyaratan.
“Perlindungan juga berlaku bagi saksi ahli dan petugas laboratorium beserta
keluarganya,” tegas dibunyikan di dalam Pasal 35 Ayat (2) dalam Peraturan Pemerintah ini.
Perlindungan ini, selain menyangkut pengamanan terhadap diri pribadi,
keluarga, dan harta, juga menyangkut kerahasiaan identitas saksi dan pelapor;
dan/atau pemberian keterangan saksi/pelapor dalam proses pemeriksaan perkara
tanpa bertatap muka dengan tersangka atau terdakwa.
“Perlindungan dilakukan oleh pejabat Polri yang wilayah kerjanya meliputi
tempat tinggal/tempat kerja Saksi, Pelapor, Penyidik BNN, Penyidik Polri,
Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) tertentu, Penuntut Umum dan Hakim yang memeriksa
Perkara Tindak Pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika, Ahli dan Petugas
Laboratorium beserta keluarganya,” demikian bunyi Pasal 38 Ayat (1) dalam Peraturan Pemerintah ini.
Disebutkan dalam Peraturan Pemerintah ini, segala biaya berkaitan dengan perlindungan
terhadap Saksi, Pelapor, Penyidik BNN, Penyidik Polri, Penyidik Pegawai Negeri
Sipil (PPNS) tertentu, Penuntut Umum dan Hakim, Ahli dan Petugas Laboratorium beserta
keluarganya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Oleh : DESK INFORMASI SETKAB